Edison Siahaan ketika mengawasi pelaksanaan pemungutan suara pemilihan Ketua PWI Jaya (Dok Askara) |
JN77.COM // Jakarta - Skandal dugaan penggelapan dana Corporate Social Responsibility (CSR) dan pertikaian internal memunculkan sorotan dari berbagai pihak terhadap Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat. Mereka menganggap peristiwa ini sangat memalukan dan baru pertama kali terjadi dalam sejarah berdirinya PWI.
Kasus dugaan penggelapan atau penyelewengan dana Unit Kegiatan Wartawan (UKW) yang diperoleh dari CSR Badan Usaha Milik Negara (BUMN) menjadi titik awal kegemparan. Dewan Kehormatan (DK) PWI Pusat, satu-satunya badan yang berwenang menilai pelanggaran Peraturan Dasar (PD) dan Peraturan Rumah Tangga (PRT), serta Kode Etik Jurnalistik (KEJ) dan Kode Perilaku Wartawan (KPW), menggelar rapat untuk menangani kasus tersebut.
Hasilnya, empat surat keputusan dikeluarkan oleh DK, memberikan sanksi peringatan keras kepada Ketua Umum PWI Pusat dan tiga pengurus lainnya. DK juga merekomendasikan pemecatan tehadap Sayid Iskandarsyah, Sekretaris Jenderal; Muhammad Ihsan, Wakil Bendahara Umum; dan Syarif Hidayatullah, Direktur Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) dari kepengurusan PWI periode 2023-2028.
Namun, putusan DK hanya tinggal sebagai wacana belaka karena tidak dianggap atau dilaksanakan oleh pengurus PWI. Pertikaian antara pengurus PWI dan DK semakin meruncing, dengan saling tuding dan berbalas surat.
Padahal, kepatuhan menjalani sanksi DK sangat menentukan dalam upaya memulihkan integritas dan kepercayaan masyarakat tehadap PWI yang merupakan organisasi profesi terbesar dan tertua di negeri ini. Sayangnya, belum tampak sosok yang peduli untuk menyelesaikan pertikaian di tubuh PWI. Bahkan terkesan seperti membiarkan PWI diseret ke jurang kehancuran. Membuat PWI tidak lagi menjadi rumah yang menyenangkan, kecuali untuk mereka dan kelompoknya semata.
Dalam konteks ini, Edison Siahaan, seorang anggota PWI, mengungkapkan keprihatinan atas kondisi tersebut. Dia menegaskan pentingnya penegakan sanksi DK untuk memulihkan integritas dan kepercayaan masyarakat terhadap PWI.
"Peristiwa ini bukan hanya memalukan, tetapi prilaku para petinggi organisasi Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat sudah memuakkan. Mereka merasa PWI hanya miliknya. Sungguh banyak yang dapat diingat, tetapi sangat sedikit yang layak di contoh," kata salah satu anggota PWI, Edison Siahaan, Minggu (28/4).
Sayangnya, lanjut Edison, putusan DK hanya tajam di atas kertas, karena tidak dianggap,apalagi dilaksanakan. Justru pengurus PWI dengan DK saling tuding dan berbalas pantun lewat surat. Layaknya seperti dua kelompok yang tinggal dalam satu rumah sedang adu kekuatan.
"Membuat saya dan mungkin ribuan anggota PWI lainnya bertanya, sampai kapan prahara ini selesai ? Kemudian membuat kami terus bertanya, siapa yang harus di dengar," kata Edison.
Sebab, tambahnya, sampai saat ini Ketum dan Sekjen masih menanda tangani berbagai surat seperti surat nomor 352/PWI-P/LXXVIII/2024 tertanggal 25 April 2024 tentang Penyelanggaraan Porwanas yang ditujukan kepada Ketua PWI seluruh Indonesia.
"Apakah surat ini sah atau dapat ditolak oleh para Ketua PWI seluruh Indonesia? Sementara kalian terus bertikai dan kehilangan perhatian serta keinginan untuk memperbaiki PWI yang sudah berada di titik nadir, akibat ulah kalian," tandas Edison.
Dia pun menghimbau agar Ketua PWI se-Indonesia untuk bertindak tegas dalam menyelesaikan konflik internal dan membersihkan organisasi dari perilaku yang merugikan. Meskipun proses hukum terkait skandal sedang berjalan, upaya untuk menyelamatkan PWI dari kehancuran harus segera dilakukan.
"Kami menuntut tanggungjawab para ketua PWI se Indonesia untuk membenahi dan mengusir orang-orang yang terlibat melakukan perbuatan tercela sehingga memicu keributan di tubuh PWI. Di tengah proses hukum yang sedang bergulir di Bareskrim Polri, segeralah bertindak untuk menyelamatkan PWI yang kita cintai ini," harap Edison Siahaan yang sudah puluhan tahun menjadi anggota PWI Jaya.***
Editor: Bardha Khaswandha