Wasekjen Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN), Suryadi, M.Si di Jakarta, Sabtu (15/4/23) berkeyakinan, kasus Buni, siswa SMK "IM" di Serang, Banten, cuma satu dari sekian masalah serupa di tanah air.
"Itu kan yang mengemuka. Hampir setiap tahun selalu ada, termasuk di Banten ini", kata Suryadi.
Pernah mengajar (1979 - 1981) di SMP Negeri Lampung Utara dan Lampung Selatan, dia selalu mendapat informasi tiap tahun ada hal serupa persoalan yang dihadapi Buni.
Ada pula, lanjutnya, siswa yang sudah lulus, tapi pihak sekolah menahan ijazahnya lantaran yang bersangkutan belum melunasi uang sekolah atau biaya ujian.
Ia mengingatkan, hal serupa itu harus dilihat secara sistemik sehingga solusinya komprehensif.
Dengan demikian, penanggulangannya tidak kasuistik Buni semata. "Kebetulan saja untuk kasus Buni pers dan orang tertentu cepat peduli. Ada pula sosok Kapolda Banten yang 'care' dengan dunia pendidikan", urai Suryadi.
Buni hanya satu kasus. Ia tidak bisa ikut ujian di sekolahnya, SMK "IM" Serang, Banten. Hal ini baru diketahui anggota masyarakat yang peduli dan segera saja Kamis dinihari (13/4/23) menghubungi Kapolda Banten untuk menemukan solusi efektif seketika itu juga.
Siang harinya, Kapolda IJP Prof. Dr. Rudy Heriyanto Adi Nugroho yang memang amat peduli pada kesulitan masyarakat di sekitarnya, khususnya dalam bidang pendidikan, segera menghubungi pihak keluarga Buni, untuk kemudian melunasinya.
Hasilnya, sejak Kamis (13/4/23) Buni sudah bisa ikut ujian. Namun, Buni masih harus ujian susulan karena ia ketinggalan ujian hari Senin, Selasa, dan Rabu (10 - 12/4/23).
Asep Abdul Muiz, kakak sulung Buni Alaras mengaku telah menerima tranfer Rp4.950.000,- dari IJP Prof Rudy Heriyanto dan akan dibayarkan keesokan harinya (Jumat, 14/4/23).
Suryadi mengingatkan semua pihak yang terlibat dalam dunia pendidikan, baik formal maupun nonformal, bahwa pendidikan itu tanggungjawab bersama komponen sekolah, masyarakat, dan pemerintah.
"Masyarakat, dalam hal ini bukan cuma oragtua murid. Untung saja kan ada sosok yang betul-betul peduli tentang pentingnya pendidikan bagi generasi pelanjut, seperti Jenderal Rudy", kata Suryadi.
Tetapi, tentu tidak harus ada terus kasus seperti Buni yang cepat direspons oleh seorang dermawan.
Pendidikan itu, baik diselenggarakan oleh pemerintah maupun swasta, bisa dipahami tetap membutuhkan biaya.
Oleh karena itu, lanjutnya, harus ditangani secara dini dengan sistematis, komprehensif, dan efektif.
Jika ada anak yang tidak bisa bersekolah atau tidak bisa ikut ujian hanya karena alasan biaya, dari SD sampai SLA (SMA atau SMK), harusnya yang pertama-tama malu adalah masyarakat dan pemerintah setempat.
Jadi, Suryadi memberi solusi, antara lain mulailah dengan langkah inventarisasi masalah, mulai dari jumlah dan siapa-siapa anak usia sekolah, wajib sekolah sampai kepada tingkat kemampuan orangtuanya secara ekonomi.
Itu semua, lanjutnya, untuk menemukan solusi komprehensif dan efektif agar tidak ada lagi anak yang pendidikannya terlantar.
Dalam dunia pendidikan, Suryadi mengingatkan, hal utama yang patut diantisipasi adalah bahwa anak didik tidak boleh jadi korban atau dikorbankan langsung atau tidak langsung.
Dengan begitu, bagi institusi pendidikan bukan sekadar "soal karena anggaran", tapi mau care dan mampu menanggulangi macam-macam soal yang jadi kendala, termasuk seketika dan secara dini segera menanggulangi masalah seperti yang dihadapi Buni.
Jadi, tidak tunggu mencuat jadi persoalan dulu baru ditangani. "Tidak saat gatal saat itu juga digaruk. Tiba soal, lantas mati akal. Pertinggilah rasa malu komponen sekolah, masyarakat, dan pemerintah," imbau Suryadi.
Rik/djemi