JAGUARNEWS77.com # Jakarta - Keluarga korban penghilangan paksa bersama dengan Imparsial, KontraS, dan YLBHI yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil melayangkan gugatan terhadap Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa ke Pengadilan Tata Usaha Negeri (PTUN) Jakarta dan Pengadilan Militer Tinggi Jakarta. Gugatan ini dilayangkan atas Keputusan Panglima TNI terkait pengangkatan Mayjen TNI Untung Budiharto sebagai Panglima Kodam (Pangdam) Jaya.
"PTUN dan Pengadilan Militer Tinggi II dipilih sebagai tempat para Penggugat mencari keadilan karena tidak ada konstruksi hukum yang memadai saat ini untuk menguji obyek Keputusan Panglima tersebut dalam tenggang waktu 90 hari yang terbatas," kata salah satu narahubung, Julius Ibrani, dalam keterangannya, Jumat (1/4/2022).
Gugatan itu didaftarkan hari ini. Menurut Julius, seharusnya di negara hukum tidak boleh ada unsur-unsur yang tidak dapat tersentuh oleh hukum dan kemudian menciptakan eksklusivitas bahkan kekebalan. Maka tidak ada pilihan bagi para penggugat selain harus mengajukan permasalahan ini kepada dua pengadilan tersebut.
"Ada 3 alasan kami menggugat keputusan Panglima," kata Julius.
Pertama, kata Julius, mengangkat penjahat sebagai pejabat menciptakan preseden buruk. Di mana orang-orang yang tidak memiliki integritas untuk memegang suatu jabatan publik/melayani masyarakat Indonesia.
"Namun diberi apresiasi dan promosi hingga menduduki jabatan penting," ucapnya.
Kedua, pengangkatan tersebut mencederai perjuangan keluarga korban dan pendamping yang terus mencari keberadaan korban yang masih hilang. Namun orang-orang yang berada pada inti kasus tersebut, kata Julius, termasuk Untung Budiharto, tidak pernah berterus terang atas kebenaran kasus atau membantu investigasi pencarian.
"Lagi-lagi malah diberi apresiasi dan promosi jabatan," tandasnya.
Ketiga, diangkatnya figur yang tak berintegritas sebagai Pangdam Jaya, bersama dengan Surat Telegram (ST) Panglima TNI No. ST/1221/2021 tertanggal 5 November 2021, berpotensi dapat mengganggu penegakan hukum dan hak asasi manusia di wilayah Kodam Jaya.
"Sebab ST tersebut menyebutkan penegak hukum-seperti Kepolisian, Kejaksaan-harus berkoordinasi dengan Komandan/Kepala Satuan TNI untuk memanggil aparat militer dalam suatu proses hukum. Dengan demikian, dipegangnya jabatan Pangdam Jaya oleh pelanggar HAM sendiri menjadi "hambatan" dan berpotensi mempersulit para penegak hukum, karena integritas dari pelanggar hukum tentu dipertanyakan untuk terbuka dalam penegakan hukum," pungkasnya
"PTUN dan Pengadilan Militer Tinggi II dipilih sebagai tempat para Penggugat mencari keadilan karena tidak ada konstruksi hukum yang memadai saat ini untuk menguji obyek Keputusan Panglima tersebut dalam tenggang waktu 90 hari yang terbatas," kata salah satu narahubung, Julius Ibrani, dalam keterangannya, Jumat (1/4/2022).
Gugatan itu didaftarkan hari ini. Menurut Julius, seharusnya di negara hukum tidak boleh ada unsur-unsur yang tidak dapat tersentuh oleh hukum dan kemudian menciptakan eksklusivitas bahkan kekebalan. Maka tidak ada pilihan bagi para penggugat selain harus mengajukan permasalahan ini kepada dua pengadilan tersebut.
"Ada 3 alasan kami menggugat keputusan Panglima," kata Julius.
Pertama, kata Julius, mengangkat penjahat sebagai pejabat menciptakan preseden buruk. Di mana orang-orang yang tidak memiliki integritas untuk memegang suatu jabatan publik/melayani masyarakat Indonesia.
"Namun diberi apresiasi dan promosi hingga menduduki jabatan penting," ucapnya.
Kedua, pengangkatan tersebut mencederai perjuangan keluarga korban dan pendamping yang terus mencari keberadaan korban yang masih hilang. Namun orang-orang yang berada pada inti kasus tersebut, kata Julius, termasuk Untung Budiharto, tidak pernah berterus terang atas kebenaran kasus atau membantu investigasi pencarian.
"Lagi-lagi malah diberi apresiasi dan promosi jabatan," tandasnya.
Ketiga, diangkatnya figur yang tak berintegritas sebagai Pangdam Jaya, bersama dengan Surat Telegram (ST) Panglima TNI No. ST/1221/2021 tertanggal 5 November 2021, berpotensi dapat mengganggu penegakan hukum dan hak asasi manusia di wilayah Kodam Jaya.
"Sebab ST tersebut menyebutkan penegak hukum-seperti Kepolisian, Kejaksaan-harus berkoordinasi dengan Komandan/Kepala Satuan TNI untuk memanggil aparat militer dalam suatu proses hukum. Dengan demikian, dipegangnya jabatan Pangdam Jaya oleh pelanggar HAM sendiri menjadi "hambatan" dan berpotensi mempersulit para penegak hukum, karena integritas dari pelanggar hukum tentu dipertanyakan untuk terbuka dalam penegakan hukum," pungkasnya
Artikel ini telah tayanh didetiknews, dengan judul : "Angkat Mayjen Untung Jadi Pangdam Jaya, Panglima TNI Digugat ke PTUN Jakarta" (Red)