JAGUARNEWS77.com # Jakarta - Jaksa penuntut umum (JPU) Kejagung menanggapi duplik pengacara Heru Hidayat. Kejagung menyatakan putusan hakim yang bersifat ultra petita dibenarkan hukum, seperti vonis Susi Tur Andayani, kurir suap mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar.
Kapuspenkum Kejagung Leonard Eben Ezer mengatakan putusan hakim yang bersifat ultra-petita dibenarkan berdasarkan hukum acara pidana Indonesia, sebagaimana diatur dalam Pasal 182 ayat (4) KUHAP, yang mengatur musyawarah terakhir untuk mengambil keputusan harus didasarkan atas surat dakwaan dan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan di sidang.
"Artinya, berdasarkan ketentuan tersebut, majelis hakim dalam memutus suatu perkara tidak semata-mata hanya berdasarkan pada surat dakwaan, namun juga berdasarkan atas segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan di sidang," kata Leonard dalam keterangan tertulis, Selasa (21/12/2021).
Leonard menjelaskan, rasio logis yang dianut KUHAP adalah hakim dalam memeriksa perkara bersifat aktif dan bebas mempertimbangkan segala sesuatunya yang terkait dengan perkara yang sedang diperiksa tersebut.
"Oleh karena itu, sepanjang hal tersebut dimaksudkan untuk memenuhi kepentingan masyarakat luas atau publik, maka putusan Hakim harus berani mengakomodir nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat, termasuk di dalamnya berani menerapkan asas hukum yang dianggap memberikan rasa keadilan dan kemanfaatan kepada masyarakat dan negara," ujarnya.
Diketahui, dalam perkara tersebut, terdakwa Heru Hidayat didakwa dengan Pasal 2 ayat 1 UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dan pada saat di persidangan ditemukan hal-hal yang memberatkan akibat perbuatan pidana yang dilakukan oleh terdakwa, yaitu di dalam perkara PT ASABRI (Persero), terdakwa Heru Hidayat telah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama yang menimbulkan kerugian keuangan negara sangat besar dengan jumlah seluruhnya sebesar Rp 22.788.566.482.083,00 (Rp 22 triliun). Di mana atribusi dari kerugian keuangan negara tersebut dinikmati Terdakwa Heru Hidayat sebesar Rp 12.643.400.946.226 (Rp 12 triliun).
Lebih lanjut, Leonard mengatakan dalam praktik peradilan, hakim memutus perkara di luar dari pasal yang didakwakan kepada Terdakwa adalah bukan sesuatu hal yang baru. Salah satu contohnya adalah vonis Susi Tur Andayani.
Susi merupakan kurir suap Akil Mochtar dalam jual beli perkara kasus sengketa pilkada di Mahkamah Konstitusi (MK). Dalam putusannya, majelis hakim memvonis Susi melanggar pasal di luar dakwaan jaksa penuntut umum.
"Terkait putusan perkara atas nama Susi Tur Andayani hanyalah salah satu contoh sebagai penegasan bahwa putusan hakim diberikan kebebasan untuk memutus perkara di luar dari pasal yang didakwakan oleh penuntut umum kepada terdakwa," ujar Leonard.
Selain itu, putusan hakim lainnya yang menggambarkan kebebasan memutus dapat dilihat, antara lain dalam putusan hakim pada Pengadilan Negeri Boyolali Nomor: 02/Pid.B/2007/PN.Bi dengan Terdakwa I Agus Santoso dan Terdakwa II Yusroni (Pengeroyokan Psl 170 KUHP), dan juga Putusan Mahkamah Agung Nomor: 810 /K.Pid.sus/2012 (Narkotika) dengan Terdakwa Idris Lukman bin Lokman Hendrik.
Lebih lanjut, Leonard mengatakan di dalam persidangan terungkap fakta Terdakwa Heru Hidayat tidak memiliki sedikit pun empati dengan beritikad baik mengembalikan hasil kejahatan yang diperoleh dan telah dinikmatinyanya secara sukarela. Heru Hidayat juga dinilai tidak pernah menunjukkan bahwa perbuatan yang dilakukannya adalah salah, bahkan telah dilakukan berulang-ulang karena beranggapan bahwa transaksi di pasar modal yang dilakukannya adalah perbuatan perdata yang lazim dan lumrah.
"Padahal banyak pihak dirugikan terutama negara dirugikan dengan timbulnya kerugian keuangan negara yang dinikmati oleh Terdakwa Heru Hidayat dari dua perbuatan pidana tindak pidana korupsi yang dilakukan secara berulang-ulang (Jiwasraya dan Asabri) yaitu sebesar Rp 23.372.184.321.226 (Rp 23 triliun).
Tuntutan Mati Heru Hidayat
Presiden Komisaris PT Trada Alam Minera, Heru Hidayat, dituntut hukuman mati oleh jaksa penuntut umum. Heru diyakini melakukan korupsi bersama mantan Dirut ASABRI Adam Damiri dan Sonny Widjaja dkk hingga merugikan negara sebesar Rp 22,7 triliun.
"Menuntut agar majelis hakim yang memeriksa dan mengadili perkara ini dapat memutuskan menyatakan Terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum bersalah melakukan tindak pidana korupsi dengan pemberatan secara bersama-sama dan tindak pidana pencucian uang," ujar jaksa saat membacakan tuntutan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Jalan Bungur Besar, Senin (6/12/2021).
"Menghukum Heru Hidayat dengan pidana mati," tambah jaksa.
Menanggapi tuntutan tersebut, pengacara Heru Hidayat menilai tuntutan mati di luar kewenangan jaksa.
"Tuntutan mati jelas adalah tuntutan yang berlebihan dan menyalahi aturan, sebab hukuman mati dalam UU Tipikor diatur dalam Pasal 2 ayat 2, sedangkan dalam dakwaan Heru Hidayat, JPU tidak menyertakan Pasal 2 ayat 2 UU Tipikor dalam dakwaannya," kata pengacara Heru, H.B.H Kresna Hutauruk, kepada wartawan, Senin (6/12/2021).
Kresna mengatakan jaksa mendakwa Heru dengan Pasal 2 ayat 1 dan Pasal 3 UU Tipikor serta Pasal 3 dan 4 UU TPPU sehingga dia menilai tuntutan jaksa di luar dakwaan.
"Tuntutan di luar dakwaan ini kan jelas tidak sesuai aturan, berlebihan, dan di luar wewenang JPU atau bisa dianggap abuse of power," ucapnya.
Kapuspenkum Kejagung Leonard Eben Ezer mengatakan putusan hakim yang bersifat ultra-petita dibenarkan berdasarkan hukum acara pidana Indonesia, sebagaimana diatur dalam Pasal 182 ayat (4) KUHAP, yang mengatur musyawarah terakhir untuk mengambil keputusan harus didasarkan atas surat dakwaan dan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan di sidang.
"Artinya, berdasarkan ketentuan tersebut, majelis hakim dalam memutus suatu perkara tidak semata-mata hanya berdasarkan pada surat dakwaan, namun juga berdasarkan atas segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan di sidang," kata Leonard dalam keterangan tertulis, Selasa (21/12/2021).
Leonard menjelaskan, rasio logis yang dianut KUHAP adalah hakim dalam memeriksa perkara bersifat aktif dan bebas mempertimbangkan segala sesuatunya yang terkait dengan perkara yang sedang diperiksa tersebut.
"Oleh karena itu, sepanjang hal tersebut dimaksudkan untuk memenuhi kepentingan masyarakat luas atau publik, maka putusan Hakim harus berani mengakomodir nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat, termasuk di dalamnya berani menerapkan asas hukum yang dianggap memberikan rasa keadilan dan kemanfaatan kepada masyarakat dan negara," ujarnya.
Diketahui, dalam perkara tersebut, terdakwa Heru Hidayat didakwa dengan Pasal 2 ayat 1 UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dan pada saat di persidangan ditemukan hal-hal yang memberatkan akibat perbuatan pidana yang dilakukan oleh terdakwa, yaitu di dalam perkara PT ASABRI (Persero), terdakwa Heru Hidayat telah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama yang menimbulkan kerugian keuangan negara sangat besar dengan jumlah seluruhnya sebesar Rp 22.788.566.482.083,00 (Rp 22 triliun). Di mana atribusi dari kerugian keuangan negara tersebut dinikmati Terdakwa Heru Hidayat sebesar Rp 12.643.400.946.226 (Rp 12 triliun).
Lebih lanjut, Leonard mengatakan dalam praktik peradilan, hakim memutus perkara di luar dari pasal yang didakwakan kepada Terdakwa adalah bukan sesuatu hal yang baru. Salah satu contohnya adalah vonis Susi Tur Andayani.
Susi merupakan kurir suap Akil Mochtar dalam jual beli perkara kasus sengketa pilkada di Mahkamah Konstitusi (MK). Dalam putusannya, majelis hakim memvonis Susi melanggar pasal di luar dakwaan jaksa penuntut umum.
"Terkait putusan perkara atas nama Susi Tur Andayani hanyalah salah satu contoh sebagai penegasan bahwa putusan hakim diberikan kebebasan untuk memutus perkara di luar dari pasal yang didakwakan oleh penuntut umum kepada terdakwa," ujar Leonard.
Selain itu, putusan hakim lainnya yang menggambarkan kebebasan memutus dapat dilihat, antara lain dalam putusan hakim pada Pengadilan Negeri Boyolali Nomor: 02/Pid.B/2007/PN.Bi dengan Terdakwa I Agus Santoso dan Terdakwa II Yusroni (Pengeroyokan Psl 170 KUHP), dan juga Putusan Mahkamah Agung Nomor: 810 /K.Pid.sus/2012 (Narkotika) dengan Terdakwa Idris Lukman bin Lokman Hendrik.
Lebih lanjut, Leonard mengatakan di dalam persidangan terungkap fakta Terdakwa Heru Hidayat tidak memiliki sedikit pun empati dengan beritikad baik mengembalikan hasil kejahatan yang diperoleh dan telah dinikmatinyanya secara sukarela. Heru Hidayat juga dinilai tidak pernah menunjukkan bahwa perbuatan yang dilakukannya adalah salah, bahkan telah dilakukan berulang-ulang karena beranggapan bahwa transaksi di pasar modal yang dilakukannya adalah perbuatan perdata yang lazim dan lumrah.
"Padahal banyak pihak dirugikan terutama negara dirugikan dengan timbulnya kerugian keuangan negara yang dinikmati oleh Terdakwa Heru Hidayat dari dua perbuatan pidana tindak pidana korupsi yang dilakukan secara berulang-ulang (Jiwasraya dan Asabri) yaitu sebesar Rp 23.372.184.321.226 (Rp 23 triliun).
Tuntutan Mati Heru Hidayat
Presiden Komisaris PT Trada Alam Minera, Heru Hidayat, dituntut hukuman mati oleh jaksa penuntut umum. Heru diyakini melakukan korupsi bersama mantan Dirut ASABRI Adam Damiri dan Sonny Widjaja dkk hingga merugikan negara sebesar Rp 22,7 triliun.
"Menuntut agar majelis hakim yang memeriksa dan mengadili perkara ini dapat memutuskan menyatakan Terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum bersalah melakukan tindak pidana korupsi dengan pemberatan secara bersama-sama dan tindak pidana pencucian uang," ujar jaksa saat membacakan tuntutan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Jalan Bungur Besar, Senin (6/12/2021).
"Menghukum Heru Hidayat dengan pidana mati," tambah jaksa.
Menanggapi tuntutan tersebut, pengacara Heru Hidayat menilai tuntutan mati di luar kewenangan jaksa.
"Tuntutan mati jelas adalah tuntutan yang berlebihan dan menyalahi aturan, sebab hukuman mati dalam UU Tipikor diatur dalam Pasal 2 ayat 2, sedangkan dalam dakwaan Heru Hidayat, JPU tidak menyertakan Pasal 2 ayat 2 UU Tipikor dalam dakwaannya," kata pengacara Heru, H.B.H Kresna Hutauruk, kepada wartawan, Senin (6/12/2021).
Kresna mengatakan jaksa mendakwa Heru dengan Pasal 2 ayat 1 dan Pasal 3 UU Tipikor serta Pasal 3 dan 4 UU TPPU sehingga dia menilai tuntutan jaksa di luar dakwaan.
"Tuntutan di luar dakwaan ini kan jelas tidak sesuai aturan, berlebihan, dan di luar wewenang JPU atau bisa dianggap abuse of power," ucapnya.
Artikel ini telah tayang didetiknews, dengan judul : "Heru Hidayat Dituntut Mati, Kejagung Ulas Vonis Kurir Suap Akil Mochtar" (Red)