JAGUARNEWS77.com # Amerika Serikat -Dalam hitungan hari, pemerintahan Amerika Serikat (AS) akan mengalami shutdown atau penutupan sementara akibat kehabisan anggaran. Tidak sekedar shutdown, Negara Adikuasa dikatakan juga terancam mengalami krisis finansial. Oleh karena itu, Menteri Keuangan AS, Janet Yellen meminta Kongres AS untuk menaikkan batas utang untuk menghindari hal tersebut.
"Kongres telah menaikkan atau menangguhkan batas utang negara sekitar 80 kali sejak tahun 1960. Sekarang harus dilakukan lagi," kata Yellen.
Batas utang atau sering disebut plafon utang merupakan seberapa besar pemerintah AS diizinkan berutang guna memenuhi kewajibannya, termasuk di dalamnya untuk jaminan sosial, tunjangan kesehatan masyarakat, pembayaran bunga utang, serta kewajiban lainnya.
Berdasarkan data data dari Statista, per Agustus lalu, nilai utang Amerika Serikat sebesar US$ 28,427 triliun, nyaris sama dengan bulan sebelumnya, tetapi turun cukup jauh dari bulan Juni US$ 28,529 triliun.
Namun, jika melihat data dari US Debt Clock, yang melihat posisi real time utang AS saat ini mencapai US$ 28,781 triliun. Jika dibandingkan dengan produk domestik bruto (PDB), utang tersebut sebesar 125% dari PDB Negeri Adidaya.
Nilai utang itu juga sekitar 70 kali dibandingkan dengan Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia. Bank Indonesia (BI) pada pekan lalu melaporkan ULN Indonesia per akhir Juli sebesar US$ 415,7 miliar atau sekitar 5.923,72 triliun
Sementara nilai utang AS jika dirupiahkan sebesar Rp 410.129 triliun!
Batas utang Amerika Serikat saat ini sebenarnya sebesar US$ 28,4 triliun, dan Yellen mengatakan Amerika Serikat akan mengalami gagal bayar (default) yang tidak pernah terjadi sebelumnya jika batas tersebut tidak dinaikkan.
"Jika batas utang tidak dinaikkan, suatu saat di bulan Oktober, sulit untuk memprediksi kapan waktu tepatnya, saldo kas di Departemen Keuangan tidak akan mencukupi, dan pemerintah federal tidak akan mampu membayar tagihannya," tambah Yellen.
"Amerika Serikat tidak pernah mengalami default, tidak sekalipun. Jika terjadi default maka akan memicu krisis finansial yang bersejarah. Default bisa memicu kenaikan suku tajam suku bunga, penurunan tajam bursa saham, dan gejolak finansial lainnya," tegas Yellen.
Plafon utang sudah berulang kali menjadi isu politik di Amerika Serikat. Shutdown juga pernah terjadi berkali-kali. Sebelumnya isu kenaikan plafon utang terjadi di era Presiden AS ke-45, Donald Trump. Saat itu pemerintahan Amerika Serikat mengalami shutdown selama 35 hari pada periode Desember 2018 hingga Januari 2019.
Shutdown tersebut menjadi yang terpanjang dalam sejarah Amerika Serikat. Sebanyak 300 ribu pegawai pemerintah dirumahkan. Selain itu, PDB juga terpangkas. Pada kuartal IV-2018, PDB terpangkas sebesar 0,1%, sementara di kuartal I-2019 sebesar 0,2%, berdasarkan analisis Congressional Budget Office, sebagaimana dikutip CNBC International.
Saat itu, perekonomian AS masih bagus, sementara saat ini masih dalam fase pemulihan dari pandemi penyakit akibat virus corona (Covid-19), oleh karena itu dampaknya bisa lebih besar lagi.
Meski demikian, Partai Republik menolak mendukung kenaikan batas utang tersebut. Senator partai Republik dari Lousiana, Bill Casssidy mengatakan Partai Demokrat ingin menaikkan batas utang tersebut untuk membiayai rencana proyek triliunan dolar AS yang disebut "Democrat wish list".
Sementara itu Yellen mengatakan kenaikan plafon utang akan digunakan untuk membayar kewajiban di masa lalu. Mantan ketua bank sentral AS ini juga menyatakan terlalu lama menunda kenaikan batas utang akan menyebabkan lebih banyak masalah. Berkaca dari 2011, ditundanya kenaikan batas utang membuat pemerintah AS nyaris mengalami default, dan terjadi penurunan tingkat kredit.
Lembaga pemeringkat utang, S&P pada tahun 2011 untuk pertama kalinya memberikan peringkat utang AS di bawah AAA.
"Penundaan kenaikan batas utang dapat menyebabkan gangguan besar di pasar keuangan yang berlangsung selama berbulan-bulan. Baik penundaan maupun default tidak bisa ditoleransi," kata Yellen.
Sumber : cnbc Indonesia
(Red)