JAGUARNEWS77.com # Jakarta - Presiden Joko Widodo (Jokowi) mendorong agar Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) direvisi oleh DPR. Sejumlah pihak angkat bicara supaya 'pasal karet' dalam UU tersebut dicoret.
Dorongan Presiden Jokowi terkait revisi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik itu dilatarbelakangi oleh sejumlah laporan. Jokowi melihat belakangan ini masif adanya saling lapor antarwarga dengan rujukan UU ITE.
"Belakangan ini, saya lihat semakin banyak warga masyarakat yang saling melaporkan. Ada proses hukum yang dianggap kurang memenuhi rasa keadilan tetapi memang pelapor itu ada rujukan hukumnya, ini repotnya di sini, antara lain Undang-Undang ITE, saya paham Undang-Undang ITE ini semangatnya adalah untuk menjaga ruang digital Indonesia agar bersih, agar sehat, agar beretika, dan agar bisa dimanfaatkan secara produktif tetapi implementasinya, pelaksanaannya jangan justru menimbulkan rasa ketidakadilan," ujar Jokowi seperti disiarkan dalam kanal YouTube Sekretariat Presiden pada Senin, 15 Februari 2021.
Dengan alasan tersebut, dia mengatakan revisi bakal diajukan untuk menghapuskan pasal-pasal yang dianggap sebagai 'pasal karet'.
"Kalau Undang-Undang ITE tidak bisa memberikan rasa keadilan, ya saya akan minta pada DPR untuk bersama-sama merevisi undang-undang ini," tegas Jokowi.
Sementara itu, Menko Polhukam Mahfud Md berkisah tentang awal mula munculnya Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Aturan itu disebut Mahfud banyak didukung pada awalnya.
"Pemerintah akan mendiskusikan inisiatif untuk merevisi UU ITE. Dulu pada 2007/2008 banyak yang usul dengan penuh semangat agar dibuat UU ITE," tulis Mahfud melalui akun Twitter seperti dilihat, Senin (15/2/2021).
Mahfud pun seiya sekata dengan Jokowi. "Jika sekarang UU tersebut dianggap tidak baik dan memuat pasal-pasal karet mari kita buat resultante baru dengan merevisi UU tersebut. Bagaimana baiknya lah, ini kan demokrasi," kata dia
Suara-suara desakan agar sejumlah pasal karet dicoret dalam UU itu pun muncul. DPR hingga para ahli pun bersuara.
Tonton video 'Jokowi ke Kapolri: Selektif Terima Laporan Pelanggaran UU ITE':
PPP
Waketum PPP, Arsul Sani, mengatakan perlu adanya revisi di sejumlah pasal UU ITE.
"Mengapa perlu direvisi? Karena penerapan pasal ini dalam proses penegakan hukum begitu banyak disorot oleh berbagai elemen masyarakat," kata Arsul kepada wartawan, Selasa (16/2/2021).
Secara spesifik, Arsul menyoroti Pasal 27 dan 28 UU ITE terkait pencemaran nama baik. Menurut dia, pasal itu membuka peluang terjadinya proses penegakan hukum yang tidak proporsional.
"Sorotan ini karena ketentuan pidana dalam UU
ITE yang dikaitkan dengan Pasal 27 dan 28 UU tersebut memang membuka peluang untuk terjadinya proses penegakan hukum yang tidak proporsional atau berlebihan," ujarnya.
"Tafsir atas ketentuan pidana yang mengacu pada pasal 27 dan 28 UU ITE selama begitu terbuka, sehingga pasal-pasal pidananya menjadi 'pasal karet' sementara dengan ancaman hukuman di atas 5 tahun, Polisi bisa menangkap dan kemudian menahan," sambungnya.
Salah satu contoh yang disoroti Arsul adalah kasus penangkapan aktivis Ravio Patra. "Ya contoh kasus si Ravio, kemudian ibu-ibu, lupa nama, yang langsung ditangkap," ujarnya.
Gerindra
Sementara itu, Partai Gerindra menilai perlu ada evaluasi UU ITE sehingga jelas siapa pihak yang hanya menebar kebencian dan siapa yang hanya ingin melontarkan kritik.
"Sepakat sekali dengan petunjuk Pak Presiden kepada Kapolri agar penerapannya terus dievaluasi. Harus ada pemetaan yang jelas siapa terlapor yang benar-benar hendak memecah belah dengan menebar kebencian dan siapa yang hanya mengkritik atau berpendapat," kata Waketum Partai Gerindra Habiburokhman kepada wartawan, Selasa (16/2/2021).
Anggota Komisi III DPR RI ini menilai yang terpenting bukan hanya soal penerapan UU ITE yang dikaji kembali. Menurut Habiburokhman, masyarakat pun perlu disadarkan.
"Yang juga penting adalah maksimalisasi edukasi, banyak masyarakat yang sampai saat ini tidak sadar ada tindakan-tindakan yang dilarang UU tetapi mereka lakukan," ujarnya.
PKS
PKS juga mendukung Presiden Jokowi yang membuka peluang untuk melakukan revisi UU ITE. PKS lantas menyinggung sejumlah kasus yang menurutnya dikenai pasal yang belum jelas.
Anggota Komisi III dari Fraksi PKS, Achmad Dimyati Natakusumah, menyebut memang ada sejumlah pasal dalam UU ITE yang bersifat 'karet'. Artinya, kata dia, penerapan pasal ITE tidak pasti.
"Jadi UU ITE itu memang banyak problem terkait dengan pasal-pasalnya, jadi banyak sekali pasal karet dalam UU ITE yang bisa akhirnya digunakan dan bisa tidak gitu, cuma yang harus direvisi," kata Dimyati saat dihubungi, Selasa (16/2/2021).
Dimyati lantas menyoroti sejumlah pasal dalam UU ITE itu, seperti Pasal 26 ayat 3, terkait penghapusan informasi tidak relevan, Pasal 27 ayat 1 tentang asusila, Pasal 28 tentang ujaran kebencian, Pasal 29 tentang ancaman kekerasan, Pasal 36 tentang kerugian, Pasal 40 ayat 2 tentang muatan yang dilarang, hingga Pasal 47 ayat 2 tentang pemutusan akses.
Sejumlah pasal itulah yang menurutnya belum pasti dan kerap membatasi kebebasan orang dalam berpendapat hingga melakukan kritik.
"Polisi mah nggak salah, mereka yang menindak karena ada UU-nya, ada payung hukumnya, maka seyogianya supaya untuk tidak debatable, supaya negara ini lebih demokratis, lebih terbuka, lebih bebas imajinasi, bebas berpendapat, bebas mengkritik, nah itu yang harus memang direvisi," ucapnya.
PAN
Anggota Komisi III DPR RI Fraksi PAN Sarifuddin Sudding menyambut baik rencana revisi UU ITE ini.
"Karena ruang lingkupnya yang begitu luas dari UU ITE ini, sehingga saya mengapresiasi pandangan Presiden ketika ada keinginan untuk melakukan revisi terhadap UU ITE ini. Supaya itu juga memberikan batasan yang jelas, yang mana sebenarnya masuk dalam ruang lingkup kejahatan informasi transaksi elektronik ini," kata Sudding kepada wartawan, Selasa (16/2/2021).
Menurut Sudding, pasal-pasal dalam UU ITE memunculkan banyak interpretasi. Selain itu, menurut Sudding, UU ITE perlu diberi batasan agar tidak menjadi pasal yang multitafsir.
"Sehingga memang perlu diberikan batasan yang jelas dan tidak memunculkan multitafsir di UU ITE ini. Sebagai masyarakat pun tidak mudah saling lapor melapor diantara, sehingga itu tadi seperti yang terjadi saat ini," ucapnya.
Suara dari Para Ahli
Ahli Hukum Pidana Trisakti
Ahli hukum pidana dari Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar menyarankan Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 28 ayat (2) UU ITE sudah seharusnya dicabut.
"Sejak awal dalam berbagai kesempatan saya selalu katakan bahwa Pasal 27 ayat 3 dan Pasal 28 ayat 2 UU ITE seharusnya dicabut," kata Fickar kepada wartawan, Selasa (16/2/2021).
Pasal 27 ayat (3) UU ITE berbunyi:
Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.
Sedangkan bunyi Pasal 28 ayat (2) UU ITE sebagai berikut:
Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).
"UU ITE itu ketika dibuat dengan semangat mengatur bisnis dan perdagangan melalui internet (online), karena itu tidak cocok ada ketentuan yang mengatur tentang pencemaran nama baik atau ujaran kebencian yang menyebabkan permusuhan berdasarkan suku, agama, ras, dan antargolongan," ucap Fickar.
Menurutnya, bisnis tidak mengenal agama atau suku. Pasal 28 ayat (2) UU ITE itu dinilai mengaburkan substansi UU tersebut.
"Seharusnya ketentuan tersebut dihapus saja karena sudah diatur dalam Pasal 310-311 KUHP (Pasal Pencemaran Nama Baik)," ujar Fickar.
Pasal di atas, kata Fickar lagi, pada praktiknya justru digunakan untuk membungkam suara-suara yang berbeda dan mengkritik pemerintah. Pelaksanaan UU ITE ini mengesankan seolah-olah penegak hukum kepolisian dan kejaksaan menjadi alat dari kekuasaan untuk membungkam kritik.
"Demikian juga nampak proses pidana ketentuan pasal ini menjebak penegak hukum menggunakannya untuk mengejar pangkat dan jabatan baik di kepolisian maupun kejaksaan," beber Fickar.
Oleh sebab itu, menurut Fickar, Pasal 27 (3) dan Pasal 28 ayat (2) UU ITE sebenarnya sudah tidak cocok digunakan pada era demokrasi. Tetapi masih menjadi hukum positif dalam pasal 156, 156a, dan 157 UU Pidana (KUHP).
"Seharusnya dihapus saja agar masyarakat tidak saling melapor karena pengertian tindak pidananya sangat longgar," pungkas Fickar.
Ahli Hukum Pidana Universitas Al Azhar Indonesia
Ahli hukum pidana dari Universitas Al Azhar Indonesia, Suparji Ahmad, menilai penerapan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) banyak menimbulkan kontroversi. Oleh sebab itu, ia setuju dengan usulan Presiden Jokowi untuk merevisi UU tersebut.
"Revisi suatu UU harus memiliki landasan filosofis, sosiologis, dan yuridis. UU ITE secara sosiologis ada masalah yakni penerapannya menimbulkan kontroversi, polemik, diduga dijadikan instrumen untuk membatasi kritik," kata Suparji kepada wartawan, Selasa (16/2/2021).
Menurut Suparji, secara yuridis ada pasal yang multitafsir dan abu-abu. Penerapan UU ITE kerap menimbulkan ketidakadilan.
"Secara filosofis ada pergeseran norma, yang semula dimaksudkan untuk mengatur transaksi elektronik tetapi mengatur juga muatan informasi yang bersinggungan dengan aspek politik," papar Suparji.
UU ITE juga sudah sering kali diuji di Mahkamah Konstitusi (MK). Hal itu mengindikasikan ada masalah konstitusionalitasnya.
"Revisi hendaknya komprehensif dan paradigmatik, yaitu memisahkan transaksi elektronik dan informasi elektronik," beber Suparji.
Revisi yang dimaksud untuk memperjelas sebuah norma. Yaitu sebagai delik formil atau materiil dan delik biasa atau aduan. Pasal yang perlu direvisi menurut Suparji adalah Pasal 27 sampai Pasal 37 UU ITE.
"Perlu dibuat naskah akademis yang disusun akademisi sehingga bersifat ilmiah dan obyektif bukan bersifat politis," pungkas Suparji
Aliansi Jurnalis
Sementara itu, Aliansi Jurnalis Video (AJV) menyampaikan sebaiknya pembahasan revisi UU ITE itu juga memasukkan tentang ketentuan jurnalistik video atau jurnalistik media sosial.
"Pencantuman itu nantinya akan diikuti oleh penerapan kode etik jurnalistik media sosial. Kode etik ini dapat menangkal hoax," kata Ketua Umum AJV Syaefurrahman Al Banjary dalam keterangannya, Selasa (16/2/2021).
Seperti diketahui, media sosial (medsos) kini menjadi salah satu rujukan berkembangnya informasi di publik. Namun, menurut Syaefurrahman, diperlukan adanya rambu-rambu yang jelas di mana revisi UU ITE nanti menjadi wadahnya.
"Ketika pers mati, jurnalistik terus berkembang dalam media baru, antara lain media sosial. Ini sejalan dengan pengertian jurnalistik dan pers yang dibedakan oleh UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers," ucapnya.
"Prinsip revisi itu kan menegakkan keadilan. Demikian juga dengan jurnalistik media sosial yang merupakan hak warga negara dalam memberikan partisipasi di bidang komunikasi," imbuh Syaefurrrahman.
KontraS
KontraS meminta sejumlah pasal multitafsir dalam UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dihapus. Salah satunya, pasal pencemaran nama baik.
"Pasal pencemaran nama baik. Ia seringkali digunakan untuk membungkam lawan dan sebagai upaya balas dendam," ujar Wakil koordinator II KontraS, Rivanlee Anandar, kepada wartawan, Selasa (16/2/2021).
Menurut Rivan, pasal itu dihapus kemudian diganti dengan pasal yang ukurannya jelas. Rivan menilai saat ini pasal pencemaran nama baik di UU ITE masih belum jelas dan tidak terukur.
"Dihapus dilengkapi dengan parameter yang jelas supaya penggunaannya terukur, dan tidak berbasis pada subjektivitas semata. Parameter yang bisa diikuti ialah Rabat Plan of Action, aturan tersebut memiliki parameter untuk menguji ambang ekspresi seseorang (apakah hate speechatau kritik), seperti konteks, pengujar, maksud, isi dan bentuk, batasan ujaran, kemungkinan dampak," kata Rivan.
Rivan menjelaskan alasan pasal pencemaran nama baik di UU ITE dihapus karena multitafsir sebab pasal itu ada di KUHP dan di UU ITE. Dia meminta pasal ini dihapus kemudian dilengkapi agar tidak multitafsir.
"(Dihapus) iya karena sudah diatur dalam KUHP, sedangkan di UU ITE malah jadi multitsfsir. Ada sejumlah pasal bukan hanya pencemaran nama baik saja, intinya pasal-pasal yang multitafsir," tuturnya.
Sumber : detiknews.com
Reporter : Muhamad Alviyan
Oleh : Redaksi jaguarnews77.com